Minggu, 06 Mei 2012

indonesia mengimpor kebutuhan pokok

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara yang merupakan usaha untuk mewujudkan satu kesatuan pertahanan negara guna mencapai tujuan nasional, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial;
c. bahwa dalam penyelenggaraan pertahanan negara setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara sebagai pencerminan kehidupan kebangsaan yang menjamin hak-hak warga negara untuk hidup setara, adil, aman, damai, dan sejahtera;
d. bahwa usaha pertahanan negara dilaksanakan dengan membangun, memelihara, mengembangkan, dan menggunakan kekuatan pertahanan negara berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum nasional, hukum internasional dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368) tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia dan perubahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia yang didorong oleh perkembangan kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga Undang-Undang tersebut perlu diganti;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, d, dan e perlu dibentuk Undang-Undang tentang Pertahanan Negara;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan MPR-RI Nomor: VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketetapan MPR-RI Nomor: VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERTAHANAN NEGARA.

Banyaknya lahan produktif yang berubah fungsi menjadi lokasi pemukiman dan wilayah industri, berdampak pada tata ruang dan tata wilayah yang tidak apik. Malah kesembrawutan penataan kota berdampak langsung.
Atas dasar pengamatan fakta lapangan itulah, Plt Sekda Kota Bima, Ir Muhammad Rum, secara tegas meminta pada dinas terkait, untuk dapat meminimalisir penggunaan lahan produktif menjadi wilayah pemukiman dan wilayah industri.      
Meski diakuinya, aturan dan landasan hukum untuk membatasi penggunaan lahan utama sekali daerah produktif untuk pertanian yang peruntukannya  bagi pemukiman dan indutri, belum disyahkan dan tertuang pada Rencana Tata Ruang dan Rencana Tata Wilayah (RTRW) Kota Bima, tetapi secara dini, mesti diminimalisir.

Kata Rum, kalau pengalihan lahan produktif dapat diminimalisir dan dihindari sejak dini, maka produksi hasil pertanian, terutama padi di Kota Bima yang dijadikan sebagai salah satu daerah cadangan pangan NTB, dapat terus terjaga. Begitipun dampak positif lainnya, tenaga kerja agraris (pertanian) yang ada tidak beralih fungsi menjadi tenaga kerja non agraris atau tenaga kerja serabutan semacam buruh atau lebih dari menjadi pengangguran.
Hal itu dikuatkan Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Bima, Ir Syamsuddin, bahwa pengalihan lahan produktif memang ada aturan dan dasar hukumnya yang mengikatnya. Seperti tertuang pada UU 41 tahun 2009 tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan. “Memang sudah diatur penggunaan dan alih fungsi lahan yang berlebihan”, ujarnya.
Hingga kini, jelas Syamsudin, luas lahan pertanian produktif (lahan irigasi) sekitar 1500 hektar. Seluas itu terbentang di sejumlah wilayah Kota Bima dengan asumsi ada yang tiga kali tanam setahun maupun ada yang dua kali setahun.  Dengan target pencapaian swasembada pangan berkisar 2 hingga 3 juta ton beras.
Kepala Dinas Tata Kota dan Pemukiman, Drs H Azhari mengaku siap dan meregulasikan penegasan Sekda untuk meminimalisir penggunaan dan pengalihan lahan dimaksud. Hanya saja pihaknya masih menunggu pemberlakuan RTRW Kota Bima yang masih berada di tangan Bappeda setempat. “Kami akan bertindak tegas atas pengalihan lahan termasuk tidak sembarang mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pada tempat dan lahan produktif sesuai RTRW yang ada nantinya”, ujar Azhari. (SM.08)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar